Perkawinan campuran
Berkembang pesatnya teknologi, informasi, dan globalisasi kini telah memungkinkan seorang Warga Negara Indonesia melakukan perkawinan campuran. Perkawinan campuran kini bukan hanya terjadi di masyarakat kelas atas yang sering bepergian ke luar negeri saja, ataupun masyarakat yang tinggal di daerah sekitar pusat wisata seperti pulau Bali saja. Namun sehubungan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, perkawinan campuran kini juga dimungkinkan dilakukan oleh siapa saja.
Yang dimaksud perkawinan campuran adalh sebagaimana yang dimaksud dalam pasal Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :
Dalam rentang waktu yang cukup lama, Undang-undang ini diterima karena dianggap memadai dalam menjawab segala jenis urusan yang mengatur tentang perkawinan. Namun seiring nerkembangnya zaman, UU ini dianggap tidak layak lagi dan perlu diganti dengan UU yang baru. Pemerintah pun segera bertindak dalam pembuatan UU yang baru yang disahkan pada tanggal 11 Juli 2006. Lahirnya UU yang baru ini disambut positif bagi masyarakat yang melakukan perkawinan campuran karena mampu menjawab permasalahan tentang anak yang lahir dari perkawinan campuran. Selama ini, status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran memang menjadi permasalahan. Disini akan diuraikan tentang status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran.
Status Anak yang Terlahir Dari Perkawinan Campuran
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :
1. Menjadi warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.
2. Menjadi warganegara asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
Undang-undang kewarganegaraan baru:
Dalam perundang undangan yang baru ini terdapat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal sebagai berikut:
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride).
Kesimpulan:
Anak adalah subjek hukum yang belum mampu mengurus sendiri ursan hukum sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kemampuan untuk mengurusnya.
Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
Status kewarganegaraan seorang anak yang terlahir dari perkawinan campuran dapat disesuaikan dengan keinginan anak ataupun keluarganya. Karena Negara ini mempunyai Undang undang yang jelas dalam mengurus hukum yang berkaitan dengan status kewarganegaraan seseorang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar